(R. Muhammad Firdaus D., S.H., M.H., C.IP., C.IRP – Pengacara dan Pengajar Indonesian Legal System di London School Public Relation)
Walaupun merupakan hal yang wajar dan sering dilakukan, pinjam meminjam biasanya bisa menimbulkan keretakan hubungan antara teman dan bahkan keluarga. Janji manis akan membayar hutang tinggal kenangan saat hutang ditagih dan kadang pihak yang meminjam lebih galak saat dimintakan pengembalian pinjaman.
Lalu apakah si peminjam bisa dipidanakan berdasarkan perjanjian?. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Artinya alasan gagal bayar dalam suatu perjanjian hutang piutang tidak bisa dipidanakan.
Lalu upaya hukum apa yang bisa dilakukan?. Bisa dengan mengajukan gugatan perdata (wanprestasi) ataupun upaya hukum pidana, apabila dalam prosesnya terdapat unsur kebohongan atau penipuan (Pasal 378 KUHP) dan/atau penggelapan (Pasal 372 KUHP).
Untuk menghindari hal-hal tersebut, hutang piutang sebaiknya dituangkan ke dalam suatu perjanjian, sehingga ada bukti yang jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Lebih baik lagi jika hutang piutang dijaminkan dengan aset, sehingga apabila terjadi gagal bayar aset bisa dialihkan, dijual, dsb., untuk menutupi hutang tersebut. Namun yang patut diingat, aset berupa benda tidak bergerak (tanah, rumah, bangunan) harus diikatkan dalam bentuk Akta Notaris (PPAT) (Akta Pemberian Hak Tanggungan), jika tidak dilakukan (atau hanya dalam bentuk surat/akta bawah tangan), maka tidak bisa dilakukan upaya hukum apa-apa terhadap aset yang menjadi jaminan hutang tersebut.